Jangan-jangan bukan sembilan senti – tapi seratus enam puluh delapan senti (ini ukuran tinggi badan saya.)
Saya bisa menentukan tuhan
mana yang akan saya sembah…
Saya bisa menentukan
dimana, bagaimana dan kapan saya menyembah…
Saya bisa menentukan
mana yang halal atau haram, bukan karena ijtihad atau fatwa…
Tetapi karena saya mau…
Jadi, kadang saya
terpikir punya bakat terpendam,
bakat menjadi tuhan..
Barangkali bukan hanya
saya, tiap orang bisa menjadi Tuhan…
Di keraton Jogja, ada
kereta kuda diberi bunga dan sesaji dupa,
jadi kereta pusaka
ampuh sakti mandraguna,
kereta itu buatan
Inggris bahkan Belanda..
Jadi tuhan bukan jadi
TUHAN,
ada rahman rahim yang
selalu diulang-ulang…
Pedagang buah dan
sayur di pasar pinggir jalan,
tiap hari mereka mulai
berjualan lepas tengah malam hingga lepas subuh,
embun kadang hujan
menemani mereka…
Lihat kawan-kawan
pedagang ikan,
ibu-ibu Madura yang
perkasa,
duduk di bak terbuka
menembus dinginnya malam
embun kadang hujan
memayungi mereka…
Kawan-kawan nelayan
yang kerap bimbang,
ketika solar hilang
dan harga ikan sulit terbilang…
Petani kebanjiran
Rusak sawah mereka
Rusak rumah mereka
Bagaimana lagi mereka
harus merentang hidup??
Merokok adalah
penghiburan mereka…
Sedikit helaan nafas
disela-sela debur ombak beban hidup
penanggal rasa kantuk,
lapar, dingin, bahkan keputus-asaan ketika tidak ada kepastian, makan apa anak aku
nanti?
Apa yang ada dibenak
ketika bilang “merokok itu haram!”
Kenapa tidak terlintas
dibenak untuk memberi menjaga penghidupan,
sebelum menasehati
tentang kematian..
Apa gawatnya candu
asap dibanding dengan beban hidup?
Kita gantang candu
asap tapi kita menoleh lari dari beban hidup…
Kita biarkan
kawan-kawan, sodara-sodara, rekan-rekan, kerabat-kerabat,
sekarang masuk surga pun
mereka tak bisa karena katanya merokok itu haram!
Kita bisa menentukan
mereka masuk surga atau tidak dengan masalah halal – haram…
Kita bisa menentukan
nasib seseorang layak mati atau tidak dengan masalah jihad…
Kita bisa menentukan
kapan kita merokok, kapan kita korupsi, kapan selingkuh…
Kita memang berbakat
jadi tuhan,
Kita perlu lebih
takzim belajar rahman rahim untuk menatap Tuhan…
*Dikutip dari buku "Budi Unggul Wibowo dalam Kenangan" dengan sedikit gubahan