2.1.12

Memoir of Budi Unggul Wibowo




Jangan-jangan bukan sembilan senti – tapi seratus enam puluh delapan senti (ini ukuran tinggi badan saya.)
Saya bisa menentukan tuhan mana yang akan saya sembah…
Saya bisa menentukan dimana, bagaimana dan kapan saya menyembah…
Saya bisa menentukan mana yang halal atau haram, bukan karena ijtihad atau fatwa…
Tetapi karena saya mau…

Jadi, kadang saya terpikir punya bakat terpendam,
bakat menjadi tuhan..
Barangkali bukan hanya saya, tiap orang bisa menjadi Tuhan…

Di keraton Jogja, ada kereta kuda diberi bunga dan sesaji dupa,
jadi kereta pusaka ampuh sakti mandraguna,
kereta itu buatan Inggris bahkan Belanda..

Jadi tuhan bukan jadi TUHAN,
ada rahman rahim yang selalu diulang-ulang…

Pedagang buah dan sayur di pasar pinggir jalan,
tiap hari mereka mulai berjualan lepas tengah malam hingga lepas subuh,
embun kadang hujan menemani mereka…

Lihat kawan-kawan pedagang ikan,
ibu-ibu Madura yang perkasa,
duduk di bak terbuka menembus dinginnya malam
embun kadang hujan memayungi mereka…

Kawan-kawan nelayan yang kerap bimbang,
ketika solar hilang dan harga ikan sulit terbilang…

Petani kebanjiran
Rusak sawah mereka
Rusak rumah mereka
Bagaimana lagi mereka harus merentang hidup??

Merokok adalah penghiburan mereka…
Sedikit helaan nafas disela-sela debur ombak beban hidup
penanggal rasa kantuk, lapar, dingin, bahkan keputus-asaan ketika tidak ada kepastian, makan apa anak aku nanti?

Apa yang ada dibenak ketika bilang “merokok itu haram!”
Kenapa tidak terlintas dibenak untuk memberi menjaga penghidupan,
sebelum menasehati tentang kematian..

Apa gawatnya candu asap dibanding dengan beban hidup?
Kita gantang candu asap tapi kita menoleh lari dari beban hidup…
Kita biarkan kawan-kawan, sodara-sodara, rekan-rekan, kerabat-kerabat,
sekarang masuk surga pun mereka tak bisa karena katanya merokok itu haram!
Kita bisa menentukan mereka masuk surga atau tidak dengan masalah halal – haram…

Kita bisa menentukan nasib seseorang layak mati atau tidak dengan masalah jihad…
Kita bisa menentukan kapan kita merokok, kapan kita korupsi, kapan selingkuh…

Kita memang berbakat jadi tuhan,
Kita perlu lebih takzim belajar rahman rahim untuk menatap Tuhan…

*Dikutip dari buku "Budi Unggul Wibowo dalam Kenangan" dengan sedikit gubahan